1 hari 24 jam. Tidak pernah menjadi 26
jam, atau menjadi 18 jam. Tapi mengapa waktu terkadang terasa begitu cepat dan
kadang pula terasa begitu lambat. Masalah duniawi merenggut hakikat kehidupan.
Problematika hidup juga gelapkan semua jiwa. Berjuang tiap hari tuk masa yang
masih samar terjangkau. Namun kepercayaan diri tanpa beralaskan iman membuat
hal itu pasti akan dialami. Muak dengan kehidupan yang tiap hari makin
mempersempit makna kebahagiaan. Hingga rasa cemas, risau, frustasi, depresi
hadir di sanubari penghuni kehidupan. Rasa yang tak pernah diinginkan dan hanya
syetan yang memproduksi rasa itu. Akal tak lagi berdiskusi dengan hati.Dunia
menjadi hitam putih tanpa warna, tanpa kebahagiaan, tanpa ketenangan.
Hidup itu seperti minum obat. Tidak diminum
tidak akan sembuh tapi jikalau diminum akan terasa pahit. Mau tidak mau harus
diminum obat tersebut dan mau tidak mau hidup harus dijalani apapun
keadaannya.Semua mata tertuju akan kebahagiaan dunia, berlomba-lomba antar
manusia walau kematian semakin mengejar mereka. Kematian terus mengintai dari
segala sisi yang siap kapan saja memutuskan nadi dalam sukma. Nafas terhenti,
begitupun polemik kehidupan terpaksa dipisah dari raga. Tak ada daya tuk
kembali. Semua tunduk dalam takdir.
Kaki ini masih terus berjalan. Tak
peduli ocehan orang. Senyum tersebar tanpa pamrih. Semangat muda menggelora.
Lelah tak terasa.” Hey, kenapa sih kamu jalan kaki, pelit banget gak mau
ngeluarin ongkos 1000 rupiah untuk naik angkot?” pertanyaan yang tak asing
untukku. Senyum menjadi jawaban andalan dikala itu. Seandainya mereka tau apa
yang ada difikiranku.
“Kenapa sih kak, rela ngerjain PR ampe
larut malem kaya gini? Kenapa gak nyontek ja ama teman dikelas? Kaka kan
sakit...lagian nanti hasilnya pasti gak jauh beda ama temen kaka? Pertanyan
yang pernah terlontar dari kepolosan mulut adikku tercinta.
“Kenapa sih tiap pulang sekolah, kamu
mau aja disuruh belanja warung? Gak seru nih ..” pertanyaan frontal dari salah
satu teman yang jujur membut hati ini tertawa. Hahahahaha
Dengan segala yang kualami,menyadarkan
ku bahwa kematian adalah jarak paling dekat dengan diri ini. Mungkin terlalu
dini untuk mengingat kematian. Namun kematian tidak melihat dininya umur
manusia. Ia melepaskan nyawa siapapun yang telah tertulis dalam takdir.
Bayangan kematian yang menjelma seperti mimpi buruk. Bayangan kesendirian,
kegelapan dan rasa sakit sebagai balasan dosa.
Terlalu gamblang ku ceritakan. Aku
adalah gadis yang takut akan kesendirian, kegelapan dan paling tidak kuat
menhan rasa sakit. Bekal yang belum cukup untuk kehidupan kedua. Banyak amanah
yang belum terjalankan untuk orang yang disayang. Mampukah semua itu tehenti
secara paksa.
Mengingat mati mengajarkanku banyak hal.
Berharganya tiap hembusan nafas, mahalnya tiap detik yang terlewati. Membuatku
terus berusaha memberikan yang terbaik disetiap langkah. Bisa saja aku naik
angkot. Tapi aku takut jika besok adalah jadwalku untuk pergi. Kaki ini terus
berjalan walau sepatu semakin usang menahan panasnya jalanan. Keringat mengalir
tak peduli. “ Mungkin ini adalah perjalanan terakhirku dibalaraja atau terakhir
kalinya jalanan ini diinjakan oleh seorang gadis kuat sepertiku! Tak ku
sia-siakan waktu ini”
Sambil membawa dagangan belanjaan.
Teringat akan pertanyaan seorang teman. Bisa saja aku menolak secara halus
perintah ibuku dengan alasan lelah. Tapi jika ini hari terakhirku. Maka betapa
meruginya aku tak bisa menjalankan amanah dari orang yang ku sayang walau hanya
untuk sekedar berbelanja warung. Pasti penyesalan menyelimuti diri di alam yang
kedua. Selagi kedua tangan dan kedua kaki masih sanggup, maka ku berikan yang
terbaik untuk mereka(ibu dan ayah) hingga detik terakhir yang kubisa.
Kalimat ini bukan kalimat kepesimisan
dalam hidup. Kematian bukan hal yang asing, tapi lumrah. Mengingat mati
membuatku bekerja sebaik mungkin dan menghargai tiap detik perjalan hidup untuk
membahagiakan semua orang yang kusayang. Sehingga hari-hari bergulir penuh
makna dan arti. Tak pernah kurasakan ini sebelumnya. Optimis tuk songsong hari
esok dalam kepasrahan pada illahi robbi akan takdir yang telah tertulis. Benci
maupun dendam tlah kukubur dalam-dalam. Aku sayang kalian semua. Aku
benar-benar sayang kalian lebih dari yang kalian tahu.
Walau aku tak tau bagaimana rasanya
mati. Setidaknya aku tau bagaimana arti kehidupan yang sebenarnya.
-Wanda Amelia Rahma-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar terbaikmu:)