“
Pergi dan jenguklah Haris. Lihat keadaannya” nada pelan Pandu sambil menahan
rasa sakit.
Tubuhnya
menghilang dan kini aku hanya bisa melihatnya melalui jendela ini. Tubuh yang
menggigil kedinginan sehabis terguyur hujan membuat diri ini lemas tak mampu
berfikir jernih. Kurang lebih lima menit setelah merasa kebingungan, kuputuskan
untuk pergi.
Kupercepat
langkah kaki, air mata telah bercampur dengan tetesan hujan. Tak terhitung
sudah berapa kali aku menabrak orang disekitar. Tak hentinya mulut ini berdo’a,
meminta pertolongan kepada Sang Pencipta untuk menyelamatkan orang-orang yang
kusayangi. Butuh waktu setengah jam untuk akhirnya tiba di rumah sakit tempat
Haris dirawat. Tak kupedulikan pandangan aneh dari orang sekitar, bahkan aku
sudah tak peduli dengan penampilanku.
Tepat
di lantai tiga, dari kejauhan aku sudah bisa mengetahui posisi kamar Haris.
Kulihat wajah-wajah yang tak asing bagiku, menangis terisak di depan sebuah
kamar. Jantungku semakin kencang berdetak. Suaranya bahkan terdengar jelas.
Sesekali aku usap air mata, mencoba lebih tegar. Namun kaki ini lemas dan
terasa berat untuk melangkah.
“Mas
Haris itu kuat, bahkan dia lebih kuat dari yang orang lain bayangkan. Aku yakin
itu” , ucapku dalam hati dengan penuh keyakinan.
Belum
sempat aku melihat orang yang biasa memangilku dengan sebutan “Dek”. Tubuhku
sudah terhantam berbagai pelukan. Pelukan yang sungguh memilukan dada, membuat
nafas semakin sesak. Sungguh aku tak suka pelukan ini.
“Tolong
jangan katakan apapun tentang kondisi Mas Haris. Mas Haris akan bangun, dia
sudah janji. Tolong lepaskan pelukan ini tante” pintaku lirih…
Semua
pun seakan tunduk dan memaklumi sikapku di kala itu.
“Bangun
Mas…buka mata” pintaku lemas…
Tak
mampu merangkai kata. Tak percaya dengan yang dilihat. Tubuh yang biasa menjadi
sayap pelindungku kini terbaring lemas. Tak
lama, ada sosok wanita berdiri di sampingku tanpa suara. Ia berdiri sambil
menatap Mas Haris dengan sendu, air
matanya jatuh bahkan sudah mengenai jendela tempat kita menatap tubuh Mas
Haris. Pandanganku-pun beralih menatapnya.
“Sungguh
beruntung kau mas, memiliki seorang kekasih yang begitu setia di samping mu”
kata ku dalam hati.
Tak
ingin merusak kesedihan Anggi yang merupakan pacar dari Mas Haris. Akupun
melangkah mundur tanpa suara sampai aku lupa untuk berpamitan dengan keluarga
Mas Haris. Kini aku menangis semakin menjadi. Tanganku ku upayakan semaksimal
mungkin untuk menutupi mataku yang semakin sembap. Saat keluar, hujan belum
berhenti, bahkan semakin deras. Mungkin hujan tau betapa sedihnya malam ini.
Lari dalam derasnya hujan adalah cara jitu untuk berdamai dengan keadaan.
“
Di sana sudah ada Anggi, seharusnya aku bahagia. Mas Haris akan jauh lebih
membutuhkan kehadiran Anggi” nada cemburu yang akhirnya terucap.
Kondisi Mas Haris semakin parah. Kesini Misykah ! (isi sms Anggi).
Itu
adalah sms pertama yang Anggi kirim setelah kita perang dingin. Itu juga
merupakan awal pembuka hubungan baik dengannya. Namun sayang, hubungan baik ini
bersemi dikala Mas Haris masih tergeletak dalam mimpinya.
“Mas
Haris…!!!!” teriak Anggi sambil memaksa untuk masuk ke kamar.
Gadis
itu sudah tak bisa megendalikan amarahnya. Berulang kali dia meronta-ronta di
pintu. Tak lama Ibu Mas Haris pun pingsan, menambah kelam suasana di malam itu.
Sempat sekitar lima menit aku terpaku berdiri seperti sedang melihat
pertunjukkan kesedihan tanpa berbuat apapun.
***
“
Baca surat ini ” tukas Anggi sambil beranjak berdiri meninggalkan semua yang
hadir.
Surat
itu belum aku pedulikan, karena mataku masih fokus melihat tubuh Anggi yang
berjalan lunglai. Tubuhnya lemas tak bergairah. Tatapan matanya kosong.
Surat
dengan amplop berwarna putih tanpa nama. Namun harum amplop ini sepertinya tak
asing bagiku. Kubuka tanpa berfikir apapun.
Dear
: Misykah
Dek..mas tidak pergi ke mana-mana.
mas hanya pindah ke tempat lain. Tapi yakinlah cinta mas tak akan berpindah.
Maafkan mas yang membuat adek bertengkar dengan Anggi. Mas memang jahat. Maaf
jika kenyataan pahit ini baru mas katakan lewat tulisan ini. Mas sayang adek. Itu saja. Mas takut
kehilangan adek. Mas tak pernah benar-benar mencintai Anggi. Mas terpaksa,
karena mas cemburu berat dengan Pandu. Seharusnya adek sadar itu. Kita sudah
bersama sejak kita dilahirkan. Rumah kita hanya dipisahkan tembok. Adek orang
pertama dan terakhir yang mas cinta. Sungguh, predikat sahabat sangat
menyakitkan buat mas. Seakan-akan mas tak bisa mendapatkan adek sebagai
kekasih. Tenang, Anggi sudah tau hal ini. Kita akan bertemu lagi kok dek. Maaf
ya mas gak bisa hadir di pernikahan adek suatu saat nanti. Tapi mas yakin adek
pasti cantik banget.
Dari: orang yang mencintaimu
melebihi dirinya sendiri –Mas Haris-
Seketika
hujan turun bersamaan dengan tangisan ini. Wajah Mas Haris begitu jelas
dibenakku. Ku cium batu nisan ini.
“Penyakit ini sungguh tega merenggutmu
dariku”, ucapku sinis pada keadaan.
Mas
Haris memang sudah memiliki kelainan jantung sejak kecil. Dia sudah lama
berjuang melawan takdir dirinya. Berbagai rangkaian pengobatan sudah pernah ia
lakukan.
Bayangan
cerita lama sejak kita kecil memutar di otakku seperti rangkaian film yang tak
pernah habis. Gelang yang sudah sejak 3 tahun lalu melingkar di lenganku, kini
ku lepaskan. Ku letakkan di bawah batu nisan ini. Gelang persahabatan yang dulu
pernah kita beli bersama sepulang sekolah. Kala itu hujan turun, dan kita
bermain hujan bersama hingga kami berdua sakit secara bersamaan. Dan masih
banyak hal indah lainnya. Sungguh aku tak mau beranjak pergi dari sini. Mas Haris
butuh teman di sini. Aku sudah janji akan menemaninya selalu. Namun apa daya,
tubuhku yang lemas tak mampu melawan tarikan ayah yang berniat membawaku
pulang. Mataku tak berhenti melihat
gundukan tanah itu sampai kaca mobil yang menutup menjadi penghalang.
“Tlilit”, nada
handphone yang getarannya membuatku
bangun.
Akibat
seharian menangis akupun tertidur. Kulihat kotak masuk dari Anggi.
Kau sungguh gadis yang beruntung. Mas Haris selalu
menceritakanmu padaku hingga membuat aku
kesal bukan main. Tapi aku tau, cinta tak dapat dipaksa. Terimakasih telah
megizinkan ku mengenal Mas Haris.
–Anggi-
Ada cerita tentang masa yang indah. Dan kita
bersama…..(alunan lagu Ariel “Noah” dari kaset milik
tetangga seperti mengiringi suasana hatiku)
***
Entah
mengapa banyak orang yang suka mengomentari kehidupan orang lain. Selalu saja
ada yang salah dari setiap pilihan yang diambil. Mengapa fisik selalu menjadi
penilaian pertama dan seakan sudah mewakili kepribadian seseorang. Sungguh
picik! Tidakkah kita sadar bahwa semua ini ciptaan Sang Khalik.
Akhir-akhir
ini memang banyak yang menggunjingku.
“ Kok bisa sih Misykah, cewe yang super duper perfect itu suka sama cowo kaku , kaya
gak ada pilihan lain aja” celoteh teman sekelasku.
Ibuku
juga ikut komentar menambah kesal hati ini, “ Neng, memang tidak ada ya cowo
yang lebih cakep sedikit dari Pandu?”.
“
Tidak ada bu” jawabku datar sambil meninggalkan Ibu dan masuk ke dalam kamar.
Seperti tak mau ditanya kembali terkait hal itu.
Apa
salahnya menyukai seseorang yang katanya tidak tampan. Toh, banyak yang tampan
tapi tak setia. Hubunganku dan Pandu memang bukan sebagai kekasih. Namun berita
ini sudah menyebar ke seluruh universitas. Apalagi kami sama-sama aktif
organisasi. Hampir setiap rapat selalu saja ada yang menyinggung kami. Kami
memang dekat, tapi tidak pacaran. Pandu anak jurusan Fisika. Dia memang tak
memiliki fisik semulus Justin Bieber,
tapi dia kan pintar, jenius bahkan. Lagipula aku suka kok dengan cowo
berkacamata. Terlihat lebih intelektual. Wajar saja dia kurus, karena dia rajin
belajar. Pandu bisa menghabiskan beberapa buku dalam satu hari. Entah sudah berapa
emas yang ia peroleh hasil olimpiade fisika Internasional. Rambutnya memang tak
pernah tersisir rapih, tapi bagiku dia berbeda.
Wajah lugunya sambil tersenyum ditahan saat tak sengaja melihatku, membuat
jantung ini berdetak kencang. Aku memang sangat terpesona dengan laki-laki yang
sangat lancar menceritakan benda-benda di langit. Pandu lebih memilih mengerjakan
soal fisika dengan tingkat kesulitan dewa dibandingkan harus menyatakan
perasaannya ke seorang wanita. Dia bahkan butuh persiapan panjang untuk sekedar
memanggil namaku. Kecelakaan tahun lalu juga karena dia memaksakan kehendak
untuk berkunjung ke rumahku. Isi dari perbincangan kita tak pernah jauh dari
teori lubang hitam dan segala teori dari para ahli. Aku yang duduk di jurusan
Bahasa Indonesia-pun kini jadi semakin banyak tau terkait teori-teori fisika.
Tak
peduli dengan yang lain katakan. Bagiku dia sangat menyenangkan. Mungkin
beginilah cinta. Tak pernah bisa diberi alasan.
***
“Apakah
Pandu hadir di pernikahan kita , sayang?” tanyanya penuh penasaran.
“Tidak mas. Saat kami duduk di semester 4 kami
tak pernah berkomunikasi kembali. Adek sudah mulai mengenal liqo (mentoring islami)
dan Pandu-pun begitu. Kami sadar bahwa hubungan kami tidak dicintai oleh Allah
SWT. Hubungan kami terhenti saat kesadaran akan cinta ilahi jauh lebih penting
dari segalanya. Pada saat itu juga adek mulai memakai hijab mas. Adek mulai
sering ikut kajian-kajian islami. Adek juga mulai bergabung dengan lembaga
dakwah kampus. “ Jelasku sambil asik mengiris bawang merah di dapur.
Laki-laki
yang penuh kelembutan itupun mengusap kepalaku dengan kasih sayang.
“
Mas bangga sama istri mas, adek benar-benar menjemput hidayah dengan penuh
keistiqomahan” senyum dari sosok yang selalu membuatku tenang, membuatku selalu
ingin membalas senyumnya dengan senyumku yang terbaik.
“
Pandu sekarang dimana? Adek tau?” tanya Mas Yusuf sambil mengambil pisau
berniat untuk membantu mengiris bawang merah.
Sebelum
menjawab, aku pun menghela nafas terlebih dahulu.
“ Dulunya adek gak tau mas, tapi saat
pernikahan kita, datang sahabat pandu yang juga teman adek waktu kuliah. Innalillahi Pandu sudah lebih
dulu ke pangkuan sang ilahi. Pandu sakit tumor otak mas. Adek sempat kaget.
Tapi syukurlah di akhir hayatnya Pandu sudah jadi ikhwan mas. Dan yang membuat
adek lebih sedih, Buku penemuan fisika terbaru yang sempat ia luncurkan
dipersembahkan untuk adek. Nama adek tertulis jelas di dalam bukunya. Padahal
kala itu, kami sudah tidak pernah berkomunikasi kembali. Adek banyak belajar dari
Pandu bagaimana mencintai seseorang dengan tulus namun dalam diam.” Tanganku
dengan sigap menutupi air mata yang memaksa untuk keluar.
Tangan
lembut Mas Yusuf pun secara perlahan mengusap air mataku.
“Sungguh
beruntung kau dek, begitu banyak orang yang mencintaimu. Tapi yang jauh lebih
beruntung adalah Mas Yusuf, karena diizinkan oleh Allah meminang akhwat
tangguh, cantik, cerdas, baik hati. Mas selalu berdo’a agar kisah keluarga
kecil ini berlanjut hingga jannah-Nya. Aamiin.” Ciuman lembut yang bersandar di
keningku sungguh membuat hati ini berbunga-bunga.
Kini
aku tau, cerita di masa lalu bukan hanya sekedar cerita belaka biasa. Banyak
pembelajaran dan hikmah yang bisa kita petik . Hikmah tersebut yang akan
menjadi guru kita di masa mendatang. “ Aku mencintaimu karena Allah Mas Yusuf”
ucapku malu sambil tertunduk . Tangan lembut itupun mengangkat wajahku, matanya
berusaha menangkap mataku. “ Aku-pun mencintaimu karena Allah, Misykah”
( Karya: Wanda Amelia Rahma)
MasyaAllah pisaan. Hihi aku membaca sambil membayangkan setelahnya. hihi
BalasHapusSemangaaat! Aku banyak belajar.. Love u cz Allah..
Sayang Ana dan Ayu karena Allah...
BalasHapusAna...ingin belajar nulis cerpen
Berkali kali coba ndak lolos:(
mantap kak ceritanya..:)
BalasHapusIcha:)
BalasHapusadekku...