Tinggi
semampai, kulitnya yang putih berseri sangat menyejukkan hati. Suaranya yang
lembut menambah manis wajahnya. Hijab berwarna merah muda sangat menambah
cantik paras wajahnya. Gamis bermotif bunga menciptakan pesona natural pada
dirinya. Bukan hanya cantik, ia juga wanita yang cerdas dan sholihah. Anak
tunggal dari keluarga pengusaha ini selalu menjadi pembicaraan guru-guru di
kelas. Tak jarang setiap wali murid yang bertemu dengannya saat pembagian rapor
selalu memujinya. Peringkat pertama di kelas sangat mudah ia capai, beberapa
lomba berhasil ia menangkan baik lomba akademik ataupun lomba keagamaan. Bisa
dikatakan, ia idaman bagi semua orang yang melihatnya. Sifat kesederhanaannya
membuat ia nyaris terlihat sempurna. Tidak ada yang tak mengenalnya.
“Zahra,
aku sungguh iri padamu” tuturku pelan sambil menatap Zahra yang sedang makan di
kantin bersama teman-temannya.
“Naira,
kau mengapa berdiri di situ? Ayo gabung dengan kami, kita makan bersama di sini.
“ ajak Afifah padaku sambil memberi sedikit ruang kursi untukku.
Afifah
adalah teman satu bangku denganku. Namun sayang, dari sekian banyak penggemar
Zahra, hanya Afifah yang bisa menghargai keberadaanku.
( Kepalaku menggeleng) pertanda bahwa aku
menolak ajakannya.
***
“Sial!!!!!!!!!
Mengapa aku belum mati juga??? Argghh..mengapa mobil tadi tak manabrak ku saja!
Pakai menghindar lagi…Argggg “ nada ku kesal penuh amarah.
Sudah
dua jam berkeliaran di jalan raya dimana waktu malam sudah akan berganti
menjadi dini hari, lampu kendaraan yang sengaja aku matikan, helm yang tak aku
kenakan, kembali aku mengencangkan gas kendaraan dan melaju kencang tanpa
pelindung jaket atau apapun.
“
Hai Malaikat Maut, Apakah Kau takut pada gadis berumur 16 tahun ini ha????? Kau
berani ambil seluruh kebahagiannku kan??? Mengapa kau hingga detik ini belum
juga mengambil nyawaku???? Apakah kau kini baru sadar sedang berhadapan dengan
siapa??? “ teriakku kencang memecah keheningan malam.
Jalanan
pun semakin sepi, yang terdengar hanya hembusan angin kencang serta beberapa
helai daun yang berterbangan. Kembali ku melaju kencang dengan motor yang
umurnya lebih tua satu tahun dari umurku.
“Mana
bubur ayah????” tanya ibuku setelah aku selesai memasukkan motor ke dalam rumah.
“ Sudah cari, tapi tidak ada yang jual.”
Jawabku datar dengan kalimat seadanya.
Batuk
ayahku terus mendominasi seisi rumah hingga telingaku mau pecah, tak jarang
ayah melempar benda apa saja yang ada di dekatnya. Entah sakit apa ayahku
sebenarnya. Komputer yang ku dapatkan dengan susah payah pun menjadi korban
dari kelakukan ayahku.
“ Prakkkkkkkkkkkkkkk” Handphone tua milik Ibuku yang kini ia banting ke lantai.
“ Nyari bubur saja tidak becus!!!!!!!” nada
sinis ayahku sangat menyindirku malam itu.
“Sudah
gerah rasanya berada di rumah ini” ujarku pada Ibu sambil mengambil kembali
kunci motor yang telah aku letakkan di atas meja.
“
Ayah sudah tak perlu marah-marah lagi dengan ku! Tak usah cari aku kemanapun
!!!!” itulah kalimat terakhir yang terucap di malam itu.
Usaha
Ibuku untuk mencegahku pergi dari rumah pun hanya sia-sia belaka. Gadis yang
merasa takdirnya sedang dipermainkan pun melaju kencang tanpa arah.
***
Kedua
tanganku yang ku regangkan memecah keheningan pagi. Kepala yang sudah lama ku
sandarkan ke stank motor kini mulai terasa sakit untuk di tegakkan. Badanku
kaku karena hampir semalaman aku tertidur di atas motor. Mataku yang bengkak
akibat menangis terlalu lama.
“ Ouhh tidak..ternyata aku masih hidup di
dunia ini” ungkapku kecewa karena berharap tak pernah bangun dari tidur ini.
Setelah
mataku sudah mampu melihat secara sempurna, kuamati lingkungan sekitar. Banyak
Ibu-Ibu yang beramai-ramai pergi ke pasar, orang-orang itu berjalan memecah
pematang sawah milik Pak Abdul.
“ Ternyata semalam aku tidur di sawah milik
Pak Abdul” tuturku sendiri sambil mencoba meregangkan kepalaku.
Hari
ini berbeda dari hari biasanya, banyak orang yang pergi ke pasar dan hal itu
menyadarkanku bahwa esok sudah masuk bulan suci Ramadhan. Berbondong-bondong
orang mempersiapkan hidangan untuk saur pertama mereka di rumah. Itulah tradisi
di desa kami. Ku hapus air mataku yang tanpa permisi mengalir di pipi.
“ Aku hampir lupa indahnya bulan suci
Ramadhan, akupun sudah lupa kapan terakhir kali aku berpuasa? Buat apa aku
lakukan itu, Tuhan tak menyayangiku” ujarku kaku dalam hati.
***
Kuputuskan
untuk tidak sekolah di hari itu. Namun aku harus pergi dari sini, karena daerah
ini belumlah jauh dari rumahku. Aku khawatir akan ada yang bisa mengenaliku.
“Kriuk….kriuuuk”
bunyi suara perutku yang lapar.
Aku
pun tak berfikir lama, ku segera bergegas ke rumaha Afifah dengan motor tuaku,
berharap ia masih memiliki sedikit rasa iba untuk memberiku makan. Saat hendak
pergi menuju kediaman Afifah, motor tuaku hilang kendali, entah apa lagi yang
rusak. Belum sempat ku berhenti dan meminggirkan motor. Sebuah mobil mewah dari
arah berlawanan semakin dekat ke arah ku, lajunya yang juga kencang membuatku
panik kala itu.
“Jger…”
kecelakaan itu tak dapat dihindari.
Untunglah
aku hanya keserempet, namun motor ini rusak parah. Kakiku agak terseok namun
masih sanggup untuk berdiri.
“Maafkan
kami” suara itu seakan menambah rasa sakit itu.
Ya…itu
suara Zahra. Suara gadis seumuran dengan ku namun hidupnya selalu indah bagai
di taman surga. Tak mau aku melihat dan meladeni permohonan maafnya. Namun
Zahra yang sudah rapih mengenakan pakaian seragam pun berusaha mengejarku.
“
Mengapa kau begitu benci padaku?? Apa salahku pada mu? Apakah aku tak boleh
mengobati lukamu??? Tanya Zahra begitu cepat
“Aku
tidak sakit sama sekali. Jadi kau tak perlu bersusah payah mengobati lukaku.
Lukaku ini tak sesakit kehidupanku. Asal kau tau, gadis manja sepertimu yang
hidup dengan penuh kenyamanan mana mungkin tau bagaimana rasanya sakit ini!
Pergi sana! Kembali saja dengan keluargamu! Aku memang iri padamu! Tapi aku tak
meminta belas kasihan dari mu Zahra!” jawabku tegas penuh amarah sesekali aku
menunjuk dirinya dengan jariku.
“Oh
jadi ini alasannya, kumohon ikutlah denganku” Zahra segera menarik tanganku
bahkan ia menyeret diriku hingga masuk ke dalam mobilnya. Dengan kaki yang
terseok tak mampu melawan tarikannya.
***
Hatiku
semakin kesal padanya saat ia pamerkan segala benda mewah yang ada di rumahnya.
Hingga tiba di sebuah kamar dimana di pintunya bertuliskan “Zahra’s room”.
Badan tinggi semampai Zahra tepat di depanku namun ia membelakangiku.
“
Namaku Zahra, akulah orang yang kau benci. Akulah gadis yang hidupnya selalu
bahagia. Namun asal dunia tau, rasa sakit ini pun terus menyelimutiku. Aku
bukanlah anak mereka. “ suara Zahra
sangat pelan hingga membuat suasana semakin haru.
“ Maksudmu apa kalau kau bukan anak keluarga
ini?” tanyaku heran.
“ Aku adalah anak yang mereka adopsi, aku tau
hal ini karena tak sengaja mendengar percakapan kedua orang tua angkatku di
kamar. Hidupku hancur di kala itu. Sudah ku coba beberapa kali mencari
identitasku sebenarnya. Namun belum kutemukan kepastiannya. Ada yang bilang,
orang tua kandungku terlilit hutang hingga akhirnya menjualku, ada pula yang
bilang aku adalah anak dari pembantunya yang sudah mati beberapa tahun silam.
Ditambah lagi tubuhku yang memiliki kelainan jantung membuatku harus selalu
berhadapan dengan kematian. Orang tua angkatku memang sangat menyayangiku, tapi
tetaplah hatiku tak pernah bahagia seutuhnya apabila bukan dengan keluarga
kandungku sendiri.” Jelas Zahra sambil menangis mengeluarkan segala kepedihan
hidupnya.
Kepalanya
masih menunduk, tangannya beberapa kali menghapus air matanya dan badannya
masih tetap membelakangiku. Aku pun tak tega untuk menatap wajahnya.
“
Tapi aku mampu bertahan, tidak seperti mu Naira” ujar Zahra sambil menegakkan
kepanya dan kini mulai menampakkan wajahnya.
“
Aku masih punya Allah yang tak akan pergi kemana mana dariku, dengan do’aku
selama ini aku tetap yakin bahwa suatu saat nanti Allah akan mempertemukan aku
dengan keluargaku. Walau jika tidak di dunia, maka mungkin bertemu di syurga.
Aku tak menyalahkan segala takdirku. Karena aku tau bahwa Allah-lah Tuhan
pemilik segala yang ada di bumi, termasuk pemilik orang tuaku” perkataan Zahra kali ini sungguh menusuk
jantungku hingga urat nadiku.
“
Apa yang telah aku lakukan pada hidupku. Bukan Allah yang menghancurkan hidupku,
namun aku sendiri. Apa yang telah ku lakukan pada kedua orang tuaku dan
adikku?? Apa yang telah kulakukan pada Zahra yang hidupnya jauh lebih
menyedihkan dari hidupku” sungguh perkataan Zahra membuat lututku semakin lemas
ditambah bekas luka akibat kecelakaan hingga aku pun terjatuh ke lantai.
Tangisan
itu memecah keheningan di rumah Zahra. Pelukkan Zahra sangat membuatku semakin
bersalah. Rasa Maluku pada Sang Maha Pencipta membuatku tak henti hentinya
menangis dan meminta ampun.
***
“Asyhadu
Alla ila hailallah waasyhadu anna muhammadurrasulullah, aku bersaksi tiada
Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Nabi Muhammad adalah utusan Allah” inilah
kalimat tobatku di bulan suci Ramadhan.
Aku kembali pada Mu Ya Rabb.
( Wanda Amelia Rahma)
Semangat Ukhtii :*
BalasHapus