Jumat, 01 Juli 2016

CERPEN: Bukan dia! Tapi DIA!





“Ingin rasanya ku belah tubuhku. Takdir macam apa ini ha! “ tubuhku jatuh pasrah pada tanah yang basah, udara dingin karena hujan membekukan tubuhku, mungkin sebentar lagi jantungku yang akan membeku. Dengan sisa tenaga yang aku punya, ku masih sempat bertanya pada langit. 

”Hai langit, aku ini gadis malang yang sedang meronta meminta belas kasih, mengapa kau halangi tangisanku dengan hujanmu ini???"  Tangan yang terkepal kedinginan berkali kali menghujam pada tanah sambil menangis dengan sisa tenaga yang ada, namun tangisan hanya tangisan semata, hanya pohon pohon tinggi yang menyaksikan. Tubuhku pun bersahaja dengan tanah, kerudung putih yang kukenakan sudah berubah warna sama dengan warna tanah tempatku tergeletak. Terakhir ku lihat cahaya terang dari jauh sana, saat ku coba untuk membangunkan diriku,  namun justru gelap yang terlihat.  
***
“ Rey….ha..n” sapa ku lemah padanya.

 “Wahai sahabatku, mengapa kau tertidur dengan banyak alat seperti itu? Bukankah kau terbiasa tidur dimana saja tanpa alas apapun. Mengapa mukamu pucat sekali? Aku ada di sini Rey…Bangun…ayo bangun. Aku punya banyak cerita yang harus kau dengar” Air mata ku berlinang, mulutku bisu saat ku sadari bahwa sahabat kecilku kini terbaring antara hidup dan mati. Tak lama, seseorang berbaju putih rapih lengkap dengan asistennya masuk menghampiri kami, ia dengan sigap memeriksa kondisi Reyhan.

 ” Dokter, ambilah jantungku untuk Reyhan, cepatlah akhiri segala penderitaan Rey….” ( Belum sempat ku akhiri kalimatku, tubuhku sudah terhempas pergi jauh dan akupun tak mampu menjelaskannya)
***
Kini aku berada di tempat yang tidak asing bagiku, tempat yang penuh kehangatan, keceriaan, semua canda tawa ada di sini. Namun kini, semua hampa, tak ada bedanya dengan dinding bisu. Ku telusuri setiap sudut rumah ini, semua barang-barang masih terletak pada tempatnya. Ini dapur, dimana tempat Ibu dan aku berbagi canda tawa sambil menyiapkan hidangan, ini ruang tamu tempat kami bersenda gurau selepas beraktifitas, dan ini kamar orang tuaku. Kamar ini beralih fungi menjadi ruangan utama dari rumah ini. Ibuku dengan kantung matanya yang hitam duduk setia di samping ayahku, adikku yang duduk terpaku dipojok ruangan sambil menanti perintah Ibuku. Dan ayahku, ia adalah pahlawan bagiku, ia selalu ada untukku, ia selalu melindungiku dari ejekan teman-temanku, ia dewa penolongku, namun pahlawan ku kini tak berkutik apapun. Tubercolusis yang sudah lama menyerangnya telah menghilangkan 40 kg dari berat badannya, batuk yang tiada henti, disertai sakit kepala luar biasa. Dua tahun sudah ayahku tak bekerja, kini kami hidup dari uang belas kasih rekan-rekan kerja ayah. Lututku lemas, kaki ku seakan hilang kekuatan untuk menopang diriku. Tubuhku pun jatuh ke lantai, ku seret tubuhku mendekati Ibuku. Ku hapus air matanya, ku cium keningnya. Ku seret tubuhku mendekat kepada adikku satu satunya, ku belai rambutnya dan ku cium pipinya. Aku pun mempercepat tubuhku untuk mendekati ayahku, ku cium pipinya. Belum selesai ku cium pipinya, tubuhku kembali tertarik ke luar rumah. ”Mau dibawa ke mana lagi tubuhku?”
***
“Fandi!!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriakku sekencang yang aku bisa. 

Namun, kecelakaan itu tak dapat dicegah.  Jantungku seakan berhenti untuk beberapa saat, nafasku sesak tak mampu menghirup oksigen dari udara di sekitarku. Sempatku terpaku lama dalam lamunanku. Orang yang selama ini senyumnya aku rindukan, kata-katanya yang menenangkan, yang wajahnya selalu ku harap melintas di mataku. Kini terbaring dengan darahnya, helm yang masih ia kenakan pun bersimbah darah, motornya yang nyaris ku hafal segala aksesorisnya tergeletak di sampingnya dengan keadaan roda yang masih berputar. Saat lamunanku berhenti, aku langsung berlari secepat yang aku bisa. 

“ Fandi…….Jangan Pergi!!!” Namun tubuhnya mulai sulit ku lihat karena tertutup kerumunan orang. Saat aku coba menerobos masuk ke tengah kerumunan itu, badanku justru tertarik ke belakang dan gelap kembali ku rasakan.
***
”Aisyah…syukurlah kamu sudah sadar” sapa seseorang yang suaranya sangat ku kenal. Perlahan mataku mulai berfungsi sebagaimana mestinya, hingga wajah lembut nan cantik itu mampu ku lihat secara sempurna.

 “ Ibu…” jawabku lemah nyaris tak terdengar.

 “Iya sayang, kamu jangan banyak bicara dan bergerak dulu ya. Ibu sudah bawakan minum untukmu. Untung saja ada Hana, jadi kamu langsung bisa di bawa ke rumah. Ibu sangat khawatir sayang” ciuman yang ia berikan pada keningku mengakhiri pembicaraannya.

Segelas air putih yang baru saja ku minum sangat menyadarkanku, bahwa beberapa peristiwa tadi yang kualami hanyalah ilusi di alam bawah sadarku. Ku coba tegakkan tubuhku. Karena aku tak mau membuat khawatir sahabatku yang sudah bersusah payah mengantarkanku. 

“ Kau tak perlu banyak bicara saat ini, ku ceritakan saja pada mu. Aku mulai curiga padamu saat kau pulang lebih dahulu bahkan saat bel belum berbunyi, kau sangat terburu-buru, namun mukamu sangat kacau parah. Aku sangat khawatir padamu, dan setelah bel pulang berbunyi, aku langsung bergegas mengikutimu. Karena motorku sempat mogok sebentar karena hujan, hingga jejakmu pun sempat hilang dari pandanganku. Dan saat ku temukan, kamu sudah terbaring pingsan di depan kebun milik Pak Haji Ten” Penjelasan Hana yang sangat menyejukan hati. Ia sahabatku di kelas 12 IPA 2. 

“ Awas saja kalau kamu seperti ini lagi, akan aku tinggalkan saja di sana, biar kamu bermalam di depan kebun Pak haji Ten” nada Hana sedikit kesal.

 “ Mana tega Hana yang cantik meninggalkan sahabatnya yang unyu unyu sepertiku” Balasku dengan penuh percaya diri. “ Hahah..ha..ha..ha..

” Tawa kami pun memecah suasana yang sunyi. Segala kepedihan seakan terlupa begitu saja."
***
Hidup memang seperti roda yang berputar, kadang di atas, kadang pula di bawah. Kadang sedih, kadang pula bahagia. Memang benar, tak selamanya hujan dan awan gelap menyelimutiku, karena ada kalanya hujan berhenti dan giliran pelangi yang menemaniku diikuti matahari yang sebentar lagi akan muncul di hadapanku. Tak ku sangka, hari-hari itu telah berlalu. 

"Huh…….udara begitu segar ku hirup” Udara di waktu shubuh memang sangat menyejukkan hati. 

“ Tlilit..tlilit..tlilit” bunyi handphone  pertanda ada panggilan masuk. “ Reyhan?? Untuk apa dia menelfonku pagi-pagi seperti ini?” tanyaku heran

 “ Assalamu’alaykum Aisyah” sapa Reyhan dengan nada khawatir. Belum sempat aku membalas salamnya, ia pun segera melanjutkan pembicaraannya. 

“ Mengapa kau menjauh dari aku Aisyah?? Kita sudah berteman lama kan..? Aku pun sudah mengakui bahwa aku sangat mencintaimu. Aku sudah memutuskan hubungankun dengan Seira. Aku pacaran dengannya hanya kerana ingin membuatmu cemburu. Ayolah Aisyah..jangan seperti ini, sok misterius menghilang dariku. Aisyah??? Jawab aku??” 
Aku hanya tersenyum manis, dan kumatikan handphone untuk mengakhiri percakapan.

 “ Seandainya kau tau Reyhan, dulu aku sangat pernah mencintaimu. Namun cinta itu telah aku kubur dalam-dalam saat ku tau bahwa kau menjalin hubungan dengan Seira. Seandainya kau pun tau, Seira adalah saudara sepupuku. Kami berdua memang lahir pada tahun yang sama. Kami sering berkumpul saat lebaran tiba layaknya saudara. Bahkan Seira sering curhat tentang perasaannya padamu kepada ku. Apa yang harus aku lakukan?? Tak mungkin aku mematahkan perasaan saudaraku sendiri. Saat kau sakit antara hidup dan mati, diriku pun sudah seperti mayat hidup. Aku ingin ada di sisimu sebagai sahabatmu. Namun perasaanmu padaku ternyata sudah diketahui Seira. Dua hari sebelum kau masuk rumah sakit, Seira menangis dihadapanku, bahkan ia hampir mau sujud di hadapanku, ia memintaku untuk menjauh darimu. Cintaku pada mu sudah ku tenggelamkan di dasar laut Rey saat kejadian itu. Sakit..sangat sakit. Bahkan mungkin lebih sakit dari segala peralatan rumah sakit yang pernah kau rasakan. Namun sudahlah..kita semua tunduk pada takdir. Ku lakukan ini padamu, agar kau terbiasa tanpaku. Ini sudah yang terbaik” Jelasku pada langit. Ku harap langit mampu menyadarkan Reyhan dan menyampaikan alasanku ini padanya.
***
Matahari, bulan, dan bumi terus berputar pada porosnya, seakan tak peduli dengan keadaan umat manusia. Hari pun telah banyak yang terlalui. Hari yang suci nan fitri pun tiba, hari dimana segala ampunan diberikan. Begitu ramainya keluargaku, sanak saudara yang sudah lama tak jumpa kini bisa berkumpul bersama. Ayah yang dulu terbaring sakit, kini sudah bisa makan ketupat bersama-sama. Tak henti-hentiya aku bersyukur pada Mu Ya Rabb. 

“ Tlilit”, bunyi pesan di hp

Selamat Hari Raya Idul Fitri Aisyah. Ini Reyhan. Maafkan kesalahanku ya. Aku sadar mengapa kau diam selama ini. Karena kau kini memilih Fandi dibandingkan aku. Aku tidak apa apa kok. Do’a yang terbaik untukmu. Dari: sahabat kecilmu –Reyhan-
Aku tertawa ringan. Aku pun segera berwudhu, karena sebentar lagi memang sudah memasuki waktu Shalat Dzuhur. Setelah ku tunaikan empat rakaat shalat Dzuhur, dilanjutkan dua rakaat shalat sunnah rawatib, kembali ku panjatkan do’a pada ilahi.

 “ Ya Allah, Ya Tuhanku, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta yang berada di anatara keduanya. Syukurku pada Mu Ya Rabb atas cinta yang Kau berikan untukku. Terimakasih Kau telah memberikan aku pelajaran yang berharga dalam hidup ini. Terimakasih Kau telah selamatkan orang-orang yang ku sayang. Kau kembalikan ayahku dalam keadaan sehat jasmani wal ruhani kembali, kau kembalikan sahabat hamba dalam keadaan sehat kembali, kau juga selamat teman hamba dari kecelakaan itu. Jika bukan karena kekuasaan-Mu, maka tak mungkin aku dan keluargaku bisa berkumpul bersama seperti ini. Cinta-Mu sangat besar padaku, tak mungkin aku khianati Cinta Mu untuk yang lain. Ku sayangi kedua orang tuaku karena Allah. Ku sayangi saudara dan teman-temanku karena Mu Ya Allah. Seandainya aku mampu menjelaskan pada Reyhan. Bukan Fandi yang ku pilih, bukan dia yang ku pilih Rey. Tapi Allah yang memang seharusnya kita Cintai secara hakiki." 
-SELESAI-



(Wanda Amelia Rahma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar terbaikmu:)

Serunya Oreo 110th Birthday Celebration Bareng Keluarga di Rumah

  Hal yang paling dirindukan dari seorang anak perempuan yang sudah berumah tangga adalah momen saat bisa kumpul bareng sama orangtua ters...