Jumat, 01 Juli 2016

CERPEN : CINTA DI UJUNG NADI



“ Pergi dan jenguklah Haris. Lihat keadaannya” nada pelan Pandu sambil menahan rasa sakit.

Tubuhnya menghilang dan kini aku hanya bisa melihatnya melalui jendela ini. Tubuh yang menggigil kedinginan sehabis terguyur hujan membuat diri ini lemas tak mampu berfikir jernih. Kurang lebih lima menit setelah merasa kebingungan, kuputuskan untuk pergi.

Kupercepat langkah kaki, air mata telah bercampur dengan tetesan hujan. Tak terhitung sudah berapa kali aku menabrak orang disekitar. Tak hentinya mulut ini berdo’a, meminta pertolongan kepada Sang Pencipta untuk menyelamatkan orang-orang yang kusayangi. Butuh waktu setengah jam untuk akhirnya tiba di rumah sakit tempat Haris dirawat. Tak kupedulikan pandangan aneh dari orang sekitar, bahkan aku sudah tak peduli dengan penampilanku.

Tepat di lantai tiga, dari kejauhan aku sudah bisa mengetahui posisi kamar Haris. Kulihat wajah-wajah yang tak asing bagiku, menangis terisak di depan sebuah kamar. Jantungku semakin kencang berdetak. Suaranya bahkan terdengar jelas. Sesekali aku usap air mata, mencoba lebih tegar. Namun kaki ini lemas dan terasa berat untuk melangkah.

“Mas Haris itu kuat, bahkan dia lebih kuat dari yang orang lain bayangkan. Aku yakin itu” , ucapku dalam hati dengan penuh keyakinan.

Belum sempat aku melihat orang yang biasa memangilku dengan sebutan “Dek”. Tubuhku sudah terhantam berbagai pelukan. Pelukan yang sungguh memilukan dada, membuat nafas semakin sesak. Sungguh aku tak suka pelukan ini. 

“Tolong jangan katakan apapun tentang kondisi Mas Haris. Mas Haris akan bangun, dia sudah janji. Tolong lepaskan pelukan ini tante” pintaku lirih…

Semua pun seakan tunduk dan memaklumi sikapku di kala itu.

“Bangun Mas…buka mata” pintaku lemas…

Tak mampu merangkai kata. Tak percaya dengan yang dilihat. Tubuh yang biasa menjadi sayap pelindungku  kini terbaring lemas. Tak lama, ada sosok wanita berdiri di sampingku tanpa suara. Ia berdiri sambil menatap Mas Haris  dengan sendu, air matanya jatuh bahkan sudah mengenai jendela tempat kita menatap tubuh Mas Haris. Pandanganku-pun beralih menatapnya.

“Sungguh beruntung kau mas, memiliki seorang kekasih yang begitu setia di samping mu” kata ku dalam hati.

Tak ingin merusak kesedihan Anggi yang merupakan pacar dari Mas Haris. Akupun melangkah mundur tanpa suara sampai aku lupa untuk berpamitan dengan keluarga Mas Haris. Kini aku menangis semakin menjadi. Tanganku ku upayakan semaksimal mungkin untuk menutupi mataku yang semakin sembap. Saat keluar, hujan belum berhenti, bahkan semakin deras. Mungkin hujan tau betapa sedihnya malam ini. Lari dalam derasnya hujan adalah cara jitu untuk berdamai dengan keadaan.

“ Di sana sudah ada Anggi, seharusnya aku bahagia. Mas Haris akan jauh lebih membutuhkan kehadiran Anggi” nada cemburu yang akhirnya terucap.

Kondisi Mas Haris semakin parah. Kesini Misykah ! (isi sms Anggi).

Itu adalah sms pertama yang Anggi kirim setelah kita perang dingin. Itu juga merupakan awal pembuka hubungan baik dengannya. Namun sayang, hubungan baik ini bersemi dikala Mas Haris masih tergeletak dalam mimpinya.

“Mas Haris…!!!!” teriak Anggi sambil memaksa untuk masuk ke kamar.

Gadis itu sudah tak bisa megendalikan amarahnya. Berulang kali dia meronta-ronta di pintu. Tak lama Ibu Mas Haris pun pingsan, menambah kelam suasana di malam itu. Sempat sekitar lima menit aku terpaku berdiri seperti sedang melihat pertunjukkan kesedihan tanpa berbuat apapun.
***
“ Baca surat ini ” tukas Anggi sambil beranjak berdiri meninggalkan semua yang hadir.

Surat itu belum aku pedulikan, karena mataku masih fokus melihat tubuh Anggi yang berjalan lunglai. Tubuhnya lemas tak bergairah. Tatapan matanya kosong.

Surat dengan amplop berwarna putih tanpa nama. Namun harum amplop ini sepertinya tak asing bagiku. Kubuka tanpa berfikir apapun.

Dear : Misykah
Dek..mas tidak pergi ke mana-mana. mas hanya pindah ke tempat lain. Tapi yakinlah cinta mas tak akan berpindah. Maafkan mas yang membuat adek bertengkar dengan Anggi. Mas memang jahat. Maaf jika kenyataan pahit ini baru mas katakan lewat tulisan ini. Mas sayang adek. Itu saja. Mas takut kehilangan adek. Mas tak pernah benar-benar mencintai Anggi. Mas terpaksa, karena mas cemburu berat dengan Pandu. Seharusnya adek sadar itu. Kita sudah bersama sejak kita dilahirkan. Rumah kita hanya dipisahkan tembok. Adek orang pertama dan terakhir yang mas cinta. Sungguh, predikat sahabat sangat menyakitkan buat mas. Seakan-akan mas tak bisa mendapatkan adek sebagai kekasih. Tenang, Anggi sudah tau hal ini. Kita akan bertemu lagi kok dek. Maaf ya mas gak bisa hadir di pernikahan adek suatu saat nanti. Tapi mas yakin adek pasti cantik banget.
Dari: orang yang mencintaimu melebihi dirinya sendiri –Mas Haris-

Seketika hujan turun bersamaan dengan tangisan ini. Wajah Mas Haris begitu jelas dibenakku. Ku cium batu nisan ini.

 “Penyakit ini sungguh tega merenggutmu dariku”, ucapku sinis pada keadaan.

Mas Haris memang sudah memiliki kelainan jantung sejak kecil. Dia sudah lama berjuang melawan takdir dirinya. Berbagai rangkaian pengobatan sudah pernah ia lakukan.

Bayangan cerita lama sejak kita kecil memutar di otakku seperti rangkaian film yang tak pernah habis. Gelang yang sudah sejak 3 tahun lalu melingkar di lenganku, kini ku lepaskan. Ku letakkan di bawah batu nisan ini. Gelang persahabatan yang dulu pernah kita beli bersama sepulang sekolah. Kala itu hujan turun, dan kita bermain hujan bersama hingga kami berdua sakit secara bersamaan. Dan masih banyak hal indah lainnya. Sungguh aku tak mau beranjak pergi dari sini. Mas Haris butuh teman di sini. Aku sudah janji akan menemaninya selalu. Namun apa daya, tubuhku yang lemas tak mampu melawan tarikan ayah yang berniat membawaku pulang.  Mataku tak berhenti melihat gundukan tanah itu sampai kaca mobil yang menutup menjadi penghalang.

“Tlilit”, nada handphone yang getarannya membuatku bangun.

Akibat seharian menangis akupun tertidur. Kulihat kotak masuk dari Anggi.

Kau sungguh gadis yang beruntung. Mas Haris selalu menceritakanmu padaku  hingga membuat aku kesal bukan main. Tapi aku tau, cinta tak dapat dipaksa. Terimakasih telah megizinkan ku mengenal Mas Haris.
–Anggi-  

Isi pesan Anggi sungguh membuat bibir ini  tersenyum. Sambil menatap langit yang indah. Perlahan ku arahkan mataku ke bingkai foto yang di dalamnya terdapat foto kami berdua saat masih berumur 10 tahun.

 Ada cerita tentang masa yang indah. Dan kita bersama…..(alunan lagu Ariel “Noah” dari kaset milik tetangga seperti mengiringi suasana hatiku)

***
Entah mengapa banyak orang yang suka mengomentari kehidupan orang lain. Selalu saja ada yang salah dari setiap pilihan yang diambil. Mengapa fisik selalu menjadi penilaian pertama dan seakan sudah mewakili kepribadian seseorang. Sungguh picik! Tidakkah kita sadar bahwa semua ini ciptaan Sang Khalik.

Akhir-akhir ini memang banyak yang menggunjingku.

 “ Kok bisa sih Misykah, cewe yang super duper perfect itu suka sama cowo kaku , kaya gak ada pilihan lain aja” celoteh teman sekelasku.

Ibuku juga ikut komentar menambah kesal hati ini, “ Neng, memang tidak ada ya cowo yang lebih cakep sedikit dari Pandu?”.

“ Tidak ada bu” jawabku datar sambil meninggalkan Ibu dan masuk ke dalam kamar. Seperti tak mau ditanya kembali terkait hal itu.

Apa salahnya menyukai seseorang yang katanya tidak tampan. Toh, banyak yang tampan tapi tak setia. Hubunganku dan Pandu memang bukan sebagai kekasih. Namun berita ini sudah menyebar ke seluruh universitas. Apalagi kami sama-sama aktif organisasi. Hampir setiap rapat selalu saja ada yang menyinggung kami. Kami memang dekat, tapi tidak pacaran. Pandu anak jurusan Fisika. Dia memang tak memiliki fisik semulus Justin Bieber, tapi dia kan pintar, jenius bahkan. Lagipula aku suka kok dengan cowo berkacamata. Terlihat lebih intelektual. Wajar saja dia kurus, karena dia rajin belajar. Pandu bisa menghabiskan beberapa buku dalam satu hari. Entah sudah berapa emas yang ia peroleh hasil olimpiade fisika Internasional. Rambutnya memang tak pernah tersisir rapih, tapi bagiku dia berbeda. Wajah lugunya sambil tersenyum ditahan saat tak sengaja melihatku, membuat jantung ini berdetak kencang. Aku memang sangat terpesona dengan laki-laki yang sangat lancar menceritakan benda-benda di langit. Pandu lebih memilih mengerjakan soal fisika dengan tingkat kesulitan dewa dibandingkan harus menyatakan perasaannya ke seorang wanita. Dia bahkan butuh persiapan panjang untuk sekedar memanggil namaku. Kecelakaan tahun lalu juga karena dia memaksakan kehendak untuk berkunjung ke rumahku. Isi dari perbincangan kita tak pernah jauh dari teori lubang hitam dan segala teori dari para ahli. Aku yang duduk di jurusan Bahasa Indonesia-pun kini jadi semakin banyak tau terkait teori-teori fisika.

Tak peduli dengan yang lain katakan. Bagiku dia sangat menyenangkan. Mungkin beginilah cinta. Tak pernah bisa diberi alasan.

***
“Apakah Pandu hadir di pernikahan kita , sayang?” tanyanya penuh penasaran.

 “Tidak mas. Saat kami duduk di semester 4 kami tak pernah berkomunikasi kembali. Adek sudah mulai mengenal liqo (mentoring islami) dan Pandu-pun begitu. Kami sadar bahwa hubungan kami tidak dicintai oleh Allah SWT. Hubungan kami terhenti saat kesadaran akan cinta ilahi jauh lebih penting dari segalanya. Pada saat itu juga adek mulai memakai hijab mas. Adek mulai sering ikut kajian-kajian islami. Adek juga mulai bergabung dengan lembaga dakwah kampus. “ Jelasku sambil asik mengiris bawang merah di dapur.

Laki-laki yang penuh kelembutan itupun mengusap kepalaku dengan kasih sayang.

“ Mas bangga sama istri mas, adek benar-benar menjemput hidayah dengan penuh keistiqomahan” senyum dari sosok yang selalu membuatku tenang, membuatku selalu ingin membalas senyumnya dengan senyumku yang terbaik.

“ Pandu sekarang dimana? Adek tau?” tanya Mas Yusuf sambil mengambil pisau berniat untuk membantu mengiris bawang merah.

Sebelum menjawab, aku pun menghela nafas terlebih dahulu.

 “ Dulunya adek gak tau mas, tapi saat pernikahan kita, datang sahabat pandu yang juga teman adek  waktu kuliah. Innalillahi Pandu sudah lebih dulu ke pangkuan sang ilahi. Pandu sakit tumor otak mas. Adek sempat kaget. Tapi syukurlah di akhir hayatnya Pandu sudah jadi ikhwan mas. Dan yang membuat adek lebih sedih, Buku penemuan fisika terbaru yang sempat ia luncurkan dipersembahkan untuk adek. Nama adek tertulis jelas di dalam bukunya. Padahal kala itu, kami sudah tidak pernah berkomunikasi kembali. Adek banyak belajar dari Pandu bagaimana mencintai seseorang dengan tulus namun dalam diam.” Tanganku dengan sigap menutupi air mata yang memaksa untuk keluar.
Tangan lembut Mas Yusuf pun secara perlahan mengusap air mataku.

“Sungguh beruntung kau dek, begitu banyak orang yang mencintaimu. Tapi yang jauh lebih beruntung adalah Mas Yusuf, karena diizinkan oleh Allah meminang akhwat tangguh, cantik, cerdas, baik hati. Mas selalu berdo’a agar kisah keluarga kecil ini berlanjut hingga jannah-Nya. Aamiin.” Ciuman lembut yang bersandar di keningku sungguh membuat hati ini berbunga-bunga.

Kini aku tau, cerita di masa lalu bukan hanya sekedar cerita belaka biasa. Banyak pembelajaran dan hikmah yang bisa kita petik . Hikmah tersebut yang akan menjadi guru kita di masa mendatang. “ Aku mencintaimu karena Allah Mas Yusuf” ucapku malu sambil tertunduk . Tangan lembut itupun mengangkat wajahku, matanya berusaha menangkap mataku. “ Aku-pun mencintaimu karena Allah, Misykah”

 ( Karya: Wanda Amelia Rahma)



4 komentar:

  1. MasyaAllah pisaan. Hihi aku membaca sambil membayangkan setelahnya. hihi
    Semangaaat! Aku banyak belajar.. Love u cz Allah..

    BalasHapus
  2. Sayang Ana dan Ayu karena Allah...
    Ana...ingin belajar nulis cerpen
    Berkali kali coba ndak lolos:(

    BalasHapus

Berikan komentar terbaikmu:)

Serunya Oreo 110th Birthday Celebration Bareng Keluarga di Rumah

  Hal yang paling dirindukan dari seorang anak perempuan yang sudah berumah tangga adalah momen saat bisa kumpul bareng sama orangtua ters...